Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Teks Bahasa: Indonesia
Harga: Rp. 150.000
Dalam Tetralogi Buru, secara general, Pramoedya melakukan penyelidikan atas beberapa pertanyaan penting tentang konstruksi bangsa, pertanyaan-pertanyaan
mengenai sejarah dan identitas yang relevan—tidak hanya mengenai isu-isu budaya yang lebih luas seperti situasi kolonial
dan semi kolonial, tetapi juga isu-isu yang lebih spesifik
seperti ras, jenis kelamin dan kelas—dalam bentuk cerita.
Roman
pertama dari Tetralogi Buru, Bumi Manusia,
mengajak kita melihat sosok yang bernama Minke, salah satu dari
beberapa orang Jawa yang berpendidikan Eropa, yang optimis ketika memulai kehidupan baru di kota baru: Betawi. Sejak mendaftarkan diri di sekolah kedokteran, Minke memiliki
kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru, dan berpikir bahwa ia bisa
melupakan keterbelakangannya di masa lalu. Namun Minke, ternyata, tidak bisa lari dari masa lalunya sebagai
bagian dari rakyat tertindas di bawah kekuasaan asing.
Ketika mimpi-mimpinya mulai menyerpih dan berantakan, ia mencoba membuat
komunitas kecil untuk melawan eksploitasi kolonial. Selama berada di arah perjuangan, Minke menemukan
cinta, persahabatan, dan
pengkhianatan—dengan konsekuensi-konsekuensi tragis.
Ini
merupakan sebuah karya sastra yang jenius dari anak bangsa ini, dari seorang
yang menamakan dirinya Pramoedya Ananta Tour—yang mampu
mendiskripsikan kesedihan rakyat dalam karakter yang kuat di bawah dominasi kolonial dan belenggu tradisi. Dan tidak mengherankan jika Carolyn See mengapresiasi karya Pramoedya ini dengan dengan apresiasi yang
terlihat berlebihan: “Pramoedya Ananta
Toer should get the Nobel Prize…!”
Tiga lagi dari keempat roma Tetralogi ini adalah Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Ketiga roman ini adalah lanjutan dari roman yang
pertama, menyuguhkan cerita tentang fase-fase perjuangan yang dilakukan oleh
Minke—mulai dari fase mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus
bawah orang-orang pribumi yang tak berdaya dalam melawan kekuasaan raksasa
Eropa, fase pengorganisiran perlawanan, hingga ekspos terhadap usaha kolonial dalam
memukul semua kegiatan kaum pergerakan.
Ya, Tetralogi Buru tentunya bukan karya sastra picisan yang bernilai
rendah. Karya-karya Pramoedya sungguh relevan dan sangat inspiratif bagi
siapapun yang kini sedang mencari identitas politik—di negeri yang kacau-balau:
Indonesia.
Dapatkan segera Tetralogi Buru dengan harga diskon di Toko Buku Buruh
Membaca! (JSA)